4.20.2008

Kepongpong Perempuan

Ini adalah kejutan terhebat dalam hidupku, memasuki bangku kuliah adalah hal-hal yang kuidamkan selama ini. Tapi, tidak untuk kuliah pada kampus ini. Kampus yang berlabelkan agama membuatku sumpek untuk berkreasi, berfantasi apalagi ejakulasi. Yang ada hanya omelan sana-sini, entahlah apakah ini yang disebut dengan religi. Tak mampu aku menerka-nerka sesungguhnya, memasuki kuliah hidupku sepertinya berangsur-angsur merajut kegilaan atau bahkan kewarasan yang selama ini terlupakan.

Sejenak untuk meleburkan kesumpekan dan kepenatan kadang aku berdiam di taman kota hingga malam larut. Menyaksikan mentari pulang menukar tempat dengan mega dan rembulan. Tak peduli apakah ada yang menyapa atau bahkan bersiul sampai-sampai transaksi menyewa diri. Ah tapi tidak untuk yang terakhir itu, hanya saja itu kerap terjadi jika aku melongo di malam-malam sepi. Perempuan…ah bahkan waktu saja tak memihak atas dirinya.

Kutatap sekeliling taman kota yang kian riuh itu memekik harapan pengertian antar sesama. Kubiarkan tubuhku terpanggang terik matahari, kurebahkan tubuhku, merasakan gelitiknya rumput yang terhempas di punggungku, lenganku, kakiku dan tubuh lain yang tak terselimuti kain kepongpong seragam kampusku. Ku liarkan pandanganku ke pinggir halteu, teras taman, air mancur, plang iklan, Koran, gedung berlantai 20, bioskop yang sudah tak terpakai, rumah makan yang sepi, pedagang-pedagang, dan…

Anisha …

Perempuan rupawan dengan tinggi badan yang menjulang diantara teman-teman perempuanku yang lainya. Aku menatap sesuatu yang berbeda dari sebelumnya, tak bisa kupercaya ku kedip-kedipkan mataku untuk memastikan apa yang aku tatap di hadapanku. Sungguh tak iyana, Anisha sosok perempuan yang ku kenali beberapa waktu lalu, belum terlalu lapuk waktu itu, seperempatnya masih membekas di ingatanku. Belum sempat ter-delete masih tersimpan di ingatanku meski tak tersusun rapi, berantakan, namun carikan kilasan adegan pertemuan dengannya masih terbayang hingga kini saat aku dalam jarak yang tak terlalu jauh menatapnya tak kedip.

Tanpa tersadar ia telah berjalan menghampiri kesendirianku menatap semesta, “Hey, kenapa kau melihatku dengan bengong seperti itu?”, Tanya Anisha membuyarkan lamunanku.

Aku terpaku menjawab pertanyaan Anisha kaku, “…ah… nggak, biasa aja”, Jawabku sekenanya. Pura-pura kurapikan rambutku, menolak Anisha yang menatapku curiga kalau-kalau aku memperhatikan penampilannya sedari tadi. Ya, penampilannya yang kali ini agak lain dari biasanya. Penampilan yang dahulu ia bilang seronok, tak sopan, kini… ia benar-benar menerapkan potongan baju itu di tubuhnya. Celana jins ketat dengan warna merah cerah di padu kaos ketat hitam menampakan lekukan tubuh yang beratus-ratus hari tersembunyi di balik kain blus tak berpotongan, baju kurung, seperti daster buat ibu-ibu serta rambut yang terurai bebas tanpa penutup kepala begitu segar menghirup udara bebas, setelah sekian lama terpenjara pada kain segi empat yang di lipat segitiga. Meski tubuh itu gagu ku pandang, mungkin belum terbiasa, langkahnya pun belum mantap, masih mengeja.

“Kenalin, ini teman cowokku..”, suara Anisha memecahkan ingatanku. Sesosok pria melambaikan tangannya tanpa bersalaman padaku, “Romi”, ucapnya singkat. Aku hampir tak menyadari ada seorang lelaki di samping Anisha. Aku terpaku mematung menatap dua sosok manusia dihadapanku, diantara semerawutnya kota dan hilir mudik manusia lain di teriknya mentari. “Ra..ra”, jawabku agak mengeja. Romi dan Anisha tersenyum, keduanya saling berpandangan.

***

Jarum jam tak hentinya berdetak seperti jantungku yang memompa darah kesana kemari dalam tubuhku, begitu juga jarum jam yang berputar melalui angka-angka, untuk selanjutnya di ulang kembali terus demikian sebelum batrenya usang. Hari yang selalu berjalan meski tanpa agenda dan jadwal tak pernah usai selalu berjalan tak pernah terdiam. Menjelang sore cahaya tak berlalu bersahabat, menyilaukan mata dan terasa menyengat kulitku. Tak suka. Meski malas kulangkahkan kakiku menapaki jalan yang terpana terik mentari sore, bagaimanapun juga ini adalah resiko untuk mendapatkan ilmu. Ah… kenapa harus ada jam kuliah sore hari?... padahal pagi-pagi pun kerap kali aku terlambat, siang pun tak luput dari itu. Selalu saja beralasan, … dasar manusia.

“Ra…….aa….”, terdengar seseorang memanggil namaku dengan nafas yang ngos-ngosan. “Tungguin Ra…”, suaranya terdengar lagi. Ufh… kuliah di lantai 4 memang menyebalkan, kenapa tak ada lift saja? Kenapa harus tangga. Aku mendengus dalam hati. “ya … ”, jawabku tak bertele-tele. Seraya menunggu kurapikan rok panjangku pula penutup kepalaku, mengeluarkan cermin dari tasku yang tak pernah lupa kusimpan di saku kantongnya. Rapi, bisiku dalam hati. Temanku masih menaiki anak tangga satu persatu dengan terburu-buru, khawatir terlambat masuk kelas, takut kalau dosennya sudah nangkring duluan uh… gawat! Bergegas aku menuju kelas berlari kecil, dan … terlihat teman-teman kelasku masih santai, ada yang mengobrol, dan di pojok sana kulihat seorang sibuk dengna komiknya, sms-an, melahap donat bertaburan coklat kacang dan keju h uh… sepertinya lezaaaattt,..dan … “Dosennya gak ada …! Seseorang berteriak hebat nyaris histeris dengan sms yang di dapat dari sang dosen yang mengabarkan katidakhadirannya. Ahhh… lantai 8, pekiku dalam hati. Menyebalkan!. Ku balikan tatapanku pada potongan donat bertaburan coklat, kacang dan keju..tapi mmm tinggal gigitan terakhir.

Tak jauh dari tempat berdiriku Anisha menyapaku, “Hei…”. Aku tersenyum membalas sapaanya tak bersuara. “Balik ke kostan aku aja yuk?”, ajak Anisha. Aku mengangguk tanda mengiyakan. Teman-teman yang lain bubar entah berantah tujuannya aku tak tau, aku masih sibuk dengan perasaan kecewa dalam dadaku, bukan karena dosen yang tak hadir, justeru aku cukup senang tak berjumpa dengannya hari ini, aku tak ingin menodai hariku dengan bertemu dengannya seandainnya ia bukan dosenku ah.. aku kecewa pada perjalanannku mengutuki anak tangga untuk mencapai gedung tingkat 8 itu.

Sesampainnya di kostan Anisha langsung membuka tutup kepalanya, padahal dulu ia clingak-clinguk jika akan melepaskan penutup kepala itu kini…sungguh tak seperti biasanya. Melepas bajunya dan menggantinya hanya dengan celana legi dan kaos oblong, cuek. Kutatap lemarinya tak ada lagi kain-kain itu, dahulu yang ia bela sebagai penutup aurat katanya. Aku menyerngitkan dahi keheranan, mungkin ia telah membungkusnya dalam kardus lalu di sumbangkan ke panti asuhan atau korban bencana, waktu itu ia pernah mengajaku untuk mengantarnya memberikan pakaian ke panti atau LSM, dan yang paling tak terduga adalah membakarnya karena tak bermode lagi, ah.. jahat fikiranku. Siapa tau ia masih menyimpannya setidaknya sebagai koleksi.

“Baju-baju kamu kemana Sha?”, tanyaku memberanikan diri mencari jawab pasti. “Ah…apa Ra?”, tegas Anisha seperti pura-pura tak mendengar pertanyaanku. “Baju-baju kamu kemana Sha?”, tanyaku mengulang dengan nada yang lebih tinggi memekik kesal. “Oh… itu”, ada kok jawabnya datar. Anisha menyalakan tape, di putarnya lagu band ungu favoritnya.

“Kamu berubah Sha!”.

“Berubah?, oh ya?”, seperti tak menyadarinya.

Kami terdiam beberapa saat menghempaskan diri di kasur yang tak beranjang di kamar kostan menerawangi lautan kisah sendiri-sendiri dengan penilaian yang selalu di kebiri, aku mematung begitu saja dengan tatapan kosong merubuhkan resah yang menjarah luka-luka hawa sebab aurat yang meraja. Tubuh…salah apa balutan kain hingga kerap mendesisku seperti bukan manusia, bukan perempuan, tidak religi, murtad, pelacur, kembang malam dan … rentetan lainnya. Hanya karena helaian kain yang tersingkap pada tubuh. Perempuan. Ahh… hanya hasil budaya setidaknya ilmu pengetahuan bukan politik agama semata, mengesahkan tubuh perempuanku yang harus terbalut bak ulat pada kepongpong.

“Ra…”, panggilan Sha mengagetkanku. “Hah…! Apa?” kulihat Anisha tengah asyik menatap wajahnya di cermin panjangnya.

“Wajahku sekarang gak terlalu belang kan?”, tanyanya sembari mendekatkan wajahnya yang oval dengan alis mata yang tebal dan senyum yang lesung ke hadapanku.

“Gak”.

“Aku lagi rajin masker-an biar putihnya rata”. Tukasnya dengan centil

Lagi-lagi ku temui korban iklan prodak pemutih wajah, biar cantik, mulus, indah, sexy, banyak lelaki yang naksir dan..ah…barangnya laku terjual dan pemilik perusaannya kaya. Terkunci oleh dalih moderenitas yang telah terimani. Keperhatikan sosok Anisha yang kini menginjak semester ke enam aku mengenalnya, dekat. Sahabat.

Sempat dalam satu pertemuanku dengannya, saat itu kita berkeliling dikota, ia bercerita tentang segala hal ihwal dirinya. Keluarganya sebagai orang yang dikagumi pula disegani sebagai salah satu tetua kampung dan pemuka agama. Waktu itu belum segenap seminggu aku berada di kota tempatku menimba ilmu di sebuah institute negri. Masih dalam rangka karantina, aku kebingungan karena tak mempunyai seragam panjang muslim bak jilbab. Hampir semua baju yang berjubel dilemariku hanya sampai lutut, dengan kaos lengan. Hanya jaket yang bertangan panjang.

Ia menyumpahi cara berpakaianku dan agak regang untuk jalan disampingku, malu katanya.

Belum sempat ku putar fikiranku menjadi lebih jernih, Anisha mengagetkanku dengan teriakannya.

“Romi nelfon!”

Ah..pekiku dalam hati, mengagetkan saja. Anisha melompat kegirangan seperti anak SD yang baru mendapatkan hadiah juara kelas. Girang. Ku ganti untaian lagu band Ungu dengan lirik band Letto yang menggugah jiwa. Serasa.

“Romi ngajak aku nonton!”, teriak Anisha menghambur pada kasur, rambutnya yang lurus rebonding itu terkibas-kibas kembali pada bentuk semula, rapi. Tak seperti lampau jarang sekali mahkota itu ia urai begitu, nyaris tidak sepenglihatanku. Karena begitu ikalnya mungkin keriting bebalnya lagi kribo, jika di urai ia tak memanjang tapi membesar, seperti mie gagal cetak, dulu Anisha bilang begitu untuk rambutnya. Selalu di ikat seperti sapu lidi yang khawatir akan tercecer. Kini rambut itu bebas bergerak searah angin, tak diam.

Aku hanya menatapnya saja, memperhatikan tingkahnya yang… tak seperti biasanya itu. Revolusi. Bahkan dulu ia tak kuasa menatap lelaki dihadapannya, kini sepertinya ia akan menerkamnya jika berhadapan erat dalam pandangannya, takan mampu mengelak. Terancam, setidaknya indah jika terancam oleh perempuan tidak oleh laki-laki uh…mendebarkan.

Anisha sibuk menyiapkan diri, bolak-balik sperti setrikaan, “Ra, … Romi gak suka liat rambutku yang ikal gak jelas itu”, akhirnya terjawab mengapa ia rebonding ranbutnya. Hanya karena Romi, seongok daging yang menjelma sesosok makhluk lelaki.

“Oh… sekarang aku harus hati-hati kalau jalan-jalan keluar, takutnya ada saudara atau ada yang mengenalku melihat”, ia khawatir pada apa yang ada dirinya. Mukanya memuram raib oleh sugestinya. Masih belum bebas terkungkung oleh undang-undang hierarki keluarga. Kukira…. Kau mampu terbang melebihi merpati ternyata, kau tak percaya akan dirimu sendiri. Anisha…teman yang kini telah kudekap sebagai sahabatku, kian merasa cemas dalam tubuh akan balutannya kepongpongnya.

“Kemarin orang tuaku menelfon, katanya sepupuku melihatku ditaman kota kemarin tak memakai penutup kepala, …gawat! kamu tau kan keluargaku itu bagaimana”, Anisha melanjutkan ceritanya dengan nyerocos, tanpa melihatku, tak dihadapanku nyaris membelakangiku sesekali, menengok. Tetap konsen pada cermin di hadapannya, sesekali menoleh.

“Kamu jawab apa?”. “Ah… mungkin salah lihat, he…”.

Kali ini aku meyaksikan Anisha memoles gincu di bibirnya bedak pada wajahnya, , mascara pada lentik bulu matanya dan celak pada dua sisi matanya, sama denganku. Kecuali parfuum.. ufh… menyengat sekali harumnya. Aku tak suka. Anisha masih nyerocos menerka hal-hal yang pekat, “Kalau orang tuaku melihatku kaya gini…?!”. Ia bergaya didepanku bak seorang model di cat walk. Dengan tanktop ungunya, jeans warna-warni pelangi. Rambut kloningnya dan dempul pada wajahnya.

Tanpa sarung tangan, gamis, penutup kepala, kepongpong wajib perempuan menurut ajaran kepercayaannya ah… apa jadinya nanti. Kuharap hanya saling pandang yang berkesudahan, memutuskan faham diantara perbedaan. Fikirku. Betapa malangnya perempuan, selain aku, yang kerap mengepak tubuhnya dengan gaun kampus itu. Berjubel oleh segala apologi landasan al-kitab suci warisan para nabi. Yang tak rela, kian terampas relung tubuhnya bagai harpa, bermelody menyayat rasa. Megah. hanya saja jika rela…, kurasa indah.

Anisha masih setia akan cerminya, hampir saja aku terlupakan olehnya. Lantaran Anisha mulai berkerabat dengan cermin dari pada denganku, seperti makhluk dungu dibelakangi oleh cerminnya.

“Romi tak suka kalu aku tak bermake-up, seperti orang mati katanya”.

Ah…kau …bukankah lalu kau kilah tanpa make-up itu cantik alami! Ingin kukepalkan kalimat ini padanya “Kau mulai tak menyerupai sempurna!”. Sayang aku tak kuasa menyobek mulutku untuk mengatakannya. Membisu, terbelenggu haru. Memandang kawan yang telah menukar cinta dengan tubuhnya. Alasan!

By, dhenaZa

Kembang Ungu

Kembang Ungu

Matahari bersinar terik sekali siang itu kurasakan panas menjalar di tubuhku, membakar kalori dalam organku hingga menghamburkan hujan semata keringat basah di badan, tak nyaman. Sepulang kuliah tak lekas aku kembali ke kamar kos ku, ada hal yang akan dibicarakan oleh kawanku katanya. Ya,.. semacam rapat kecil untuk membahas berita yang akan dicetak. Segera ku percepat langkahku tanpa berfikir panjang aku berjalan tanpa menoleh kanan kiri.

Sesampainya diruangan yang berukuran 9 x 6 m aku rebahkan tubuhku di lantai, sejuk, ruangan ini tak begitu terkena sorot sinar matahari jadi tidak terlalu panas. Sejenak kepejamkan mataku mengusir panas yang sedari tadi memuncak dari ujung kaki hingga kepala. Meresapi dinginnya lantai yang beraroma jeruk cairan pembersih. Pelan-pelan ku buka mataku, dari kejauhan ku lihat sosok kawanku berjalan gontai kearahku dengan pakain desain warna ungu muda, manis. Tak seperti biasanya, tampangnya berseri-seri bak bunga yang baru merekah, merona.

Sekilas ingatanku melayang entah kemana tak terkejar, begitu cepat tak tergambar, jauh. Ku tatap lebih focus desain ungu itu, ah..sial tak teringat, aku mengguman dalam hati, agak kesal. Tanpa banyak basa basi dimulai lah rapat kecil dengan beberapa kawanku, tanpa banyak bacot dan sanggahan semua berjalan dengan aman. Sekilas ku buang tatapanku pada alam yang tak lekang oleh waktu, tapi meragu. Sesuatu yang begitu kuat ku tarik dari masa lalu atau entah masa nanti, tak pasti masih kuterawang, tapi aku tidak meramal. Aku hanya mengangguk saja pada rapat kecil tak bisa kusanggah, tak mengerti kali ini entah yang ke sejuta kali atau mungkin lebih aku tak bisa mengerti dengan yang dibicarakan orang lain. Pasi. Semakin buyar konsentrasi ku, mengingat keras nuansa ungu dalam khayalku, aku tak menyukai warna ungu ada yang bilang warna ungu itu warna jomblo, tapi bukan karena itu aku hanya tidak meyukainya saja, tak ada alasan hanya tak suka. Cukup.

Rapat tlah usai tak tau apa hasilnya, kali ini aku tak ingin peduli aku hanya sedang mengacak-ngacak memoryku akan ungu. Ah..aku kehilangan kata-kata tentang ungu.

Resi yang sedari tadi mengigau dalam rapat lapar…lapar …makan ..makan … meraih tanganku mengajaku makan di warung tenda depan kampus, kami berjalan begitu saja sementara Resi berceloteh dengan tawaran menu, aku berceloteh pada diriku tentang ungu. Apa itu?

Seperti ada kilasan siluet yang melintas di benakku terbesit begitu saja ketika aku mulai kutu akibat ungu, ah… bunga!

Ya… bunga! hari itu entah hari apa, tanggal berapa tak jelas aku masih lupa. Aku menaiki anak tangga menuju kamar kosku, aku menatap tak peduli pada rak sepatu, dan…aku melihat beberapa tangkai bunga ungu pada vas warna bening beling…aku tersenyum simpul begitu saja menatapnya, indah..Arif ..sebongkah nama terbuang begitu saja dari mulut mungilku. Wajahku memerah, sekilas ku menatap wajahnya tersenyum pada setangkaian bunga ungu, malu. Aku menyaksikan ia dalam anganku pada hari Sabtu beberapa tahun lalu, sewaktu aku masih mengenakan seragam putih abu, di sebuah lapang ilalang dengan perahu di sebuah situ. Sepulang sekolah aku berjanji bertemu dengannya, ia akan menjemputku di perempatan jalan 100 meter dari sekolahku, merajut rindu. Ia menungguku dengan motor kesayangannya yang berwarna ungu.

Senja sore di pelukan rindu kau hanya menatapku dalam langkah-langkah menuju perahu. Sesekali kau menatapku cemas ntah khawatir, malu atau takut. Tapi menurut cerita teman dekatku yang juga teman sekelasmu kau selalu merasa deg-degan bila bertemu denganku, karena terlalu suka padaku. Aku merangkul pintu perahu ku buang pandangku pada sekitar tak kuasa ku menatapmu meski ku tau kita kerap mencuri-curi pandang lalu membuangnya pada jambangan eceng gondok yang berbunga ungu.

Ahh…. Aku menemukan waktu yang terselip di tumpukan hariku, akhirnya terpecah kegamangan yang sejak tadi mengintaiku seperti detektif. Kita makan batagor saja, cetus Resi membangunkanku dari lamunan yang telah terpecahkan. Aku tak menjawab kuikuti saja langkahnya tanpa banyak kata. Sementara Resi memesan makanan aku hanya duduk terdiam mengawasi lalu lalang kendaraan. Tanpa peduli kusebarkan pandanganku pada sebrangan arah yang tak jelas, siluet ungu terus menguntitku. Ntah cat dinding di warteg, pensil, stabilo, es kelapa muda, kecap, saus, apa saja.

Kita berdua menatap jambangan eceng gondok itu, bukan nama yang indah. Tapi tangkaiannya begitu nian tak kupercayai bahwa itu adalah bunganya, merekah ungu. Kau menatapku, kali ini kita bertatapan tak sempat aku mengelak, kau tersenyum tak tau apa yang harus kau kata. Lantas merangkak memetikan bunga itu untuku, karena hanya ada aku dan engkau disitu, sedangkan manusia lain sembunyi mengawasi kita, cemburu.

Sesampainya di rumah ku simpan bunga itu pada vas bening beling, percis seperti yang kulihat dihadapanku kini. Bunga itu layu setelah seminggu, setelah datang tangkai baru yang kau petik untuku. Terus demikian hingga tak ingat lagi kapan berakhirnya. Arif… aku rindu…adakah kau mengingat jambangan bunga eceng gondok berwarna ungu?

Tralala..lala.. dering bunyi hp ku bergetar menandakan pesan , Sri, aku merengutkan dahiku menatap layar hp. Sudah lama tak ada kabar tentangnya, ku buka dan …

”hai Alika pa kbar? Eh..kamu di undang ma Arif, dia nikah minggu lalu, kamu tau?”… aku tertegun sejenak memastikan rentetan kalimat yang ku baca itu tak salah. Hah…aku membelalak tak percaya, batagor yang ku kunyah serasa batu, hatiku tak menentu tak tau. Seperti demam seketika, tapi tidak aku hanya sedikit kaget, ya..nyaris tak percaya bahwa ia…ah..Arif. Resi menatapku melongok dia bertanya ihwal sms yang kuterima, aku menerangkan padanya ia hanya mengangguk-angguk saja, mungkin agak heran juga. Resi sempat kukenalkan pada Arif, dan ia tak akan melupakan sosok arif begitu saja, karena selain ia berparas ganteng Arif juga ditilai baik oleh Resi, sikapnya. Resi menyayangkan kabar pernikahan itu dan terus menggodaku …uuu…yang lagi patah hati di tinggal kawin…

Aku tertegun begitu lama menatap kosong kata-kata di jendela, aku tegaskan pada hatiku bahwa aku tidak cemburu, tak akan, bahwa aku bahagia. Hanya saja aku tak habis fikir begitu cepat waktu berlalu, memang seperti baru kemarin sepenggal kata kulayangkan begitu saja padanya

kita putus saja, lagi pula aku akan kuliah dan kau akan mengejar mimpimu sebagai TNI kita akan sukses dengan cita-cita kita

ia menatapku tegas, matanya sayu dan pipinya memerah menahan amarah. Meski begitu ia tak lantas pergi begitu saja dari kehidupanku, sesekali dalam waktu hitungan bulan ia masih datang menemuiku. Bahkan ia sempat pula mengunjungi tempat kuliahku, sayangnya cita-citanya belum tergapai. Tapi ia mendapatkan pekerjaan di salah satu dept store terkemuka dikota.

Ah… terlalu ungu untukku……….

By.dHenaZa